Benar Disakiti atau ‘Hanya Merasa Tersakiti’?

Mencintai dan dicintai, perasaan seperti ini pastilah terasa sangat indah bagi insan yang merasakan keduanya. Mencintai yang berarti kita memberi (aktif) dan dicintai yang artinya kita diberi cinta, diberi kasih sayang oleh seseorang. Tapi di sini saya tidak akan membahas tentang mencintai-dicintai. Toh saya yakin, telah banyak uraian dan penjelasan tentang cinta. Dan tiap pribadi, tentunya akan lebih paham akan cinta yang tengah menyapa lembut hatinya. Saya akan mencoba mengurai tentang perasaan yang hampir semua orang tak mau merasakannya, yuuup, disakiti. Jika perasaan dicintai, semua orang akan menemukan satu titik bahagia, meskipun itu kecil sekali, namun jika perasaan itu adalah disakiti?? Adakah bahagianya jika disakiti?? Apa enaknya disakiti? (sangat sedikit yg menjawab ada). Disakiti, rasanya seperti membuat kubang di hati, perasaan bagai ditampar, luapan amarah, jerih nan periiiii, hingga terlahirlah rasa benci lantaran disakiti. Guys, sebelum memutuskan apakah kita benar-benar disakiti, coba tanyalah si hati, cek keadaan sebenarnya, tabbayun dengan orang yang kita dakwa sebagai orang yang menyakiti kita. Jangan-jangan sebenarnya kita tidak disakiti, pikiran kita lah yang “sakit”, mendakwa seperih itu kepada sahabat kita atau orang yang mencintai kita, “Dia menyakitiku atau Aku telah disakiti olehnya….salahku apaaa??”. Saya berpikir (karena saya pernah merasakan hal seperti ini), dia sahabatku, mana mungkin tega menyakitiku?. Atau dengan orang-orang terdekat kita lah. Apa iya orang-orang yang mencintai/pernah mencintai kita, tega dan sengaja betul menyakiti hati kita??.hmmmm, kuncinya satu, tabbayun, tanya baik-baik. Iya, jangan-jangan kita hanya ‘merasa tersakiti’ saja, bukan benar-benar disakiti. Apalagi merasa disakiti yang berujung benci. Karena penyakit benci adalah penyakit destruktif, merusak dan merugikan diri sendiri. Kembali kepada ‘merasa tersakiti’. Perasaan seperti ini hampiiiir sama dengan disakiti ( rasanya ). Apa yang membuat beda? Tanya tuh sama hati apa beda antara keduanya. Merasa disakiti cenderung mendorong kita untuk berfikir negative, suudhon, benci, bahkan dendam. Diri sendiri lah yang terlalu mendramatisir menjadi rasa ‘disakiti’. Padahal aslinya bukan seperti ituuu. Yuukkk, kita coba dan terus coba berhuznudhan, jika sekarang kita disakiti, katakanlah pada hati,”ah, mungkin aku hanya merasa tersakiti saja, dia sahabat baikku, tak mungkin sengaja benar membuatku sakit hati”. insyaAllah yang seperti itu hati akan lebih damai, lebih bisa memaafkan daripada kita sibuk berfikir, “kok tega-teganya dia menyakitiku”, karena yang demikian itu bukankah kita yang rugi sendiri? Rugi pikiran, tenaga, uring-uringan, bahkan mendendam. Padahal kita nggak tau kan yang sesungguhnya seperti apa :)

Untuk orang yang merasa telah saya sakiti, berjuta maaf. Sungguh maafkan saya. insyaAllah, tidak ada niat untuk menyakiti, tidak ada maksud sengaja benar untuk menyakiti hati. Mungkin ada baiknya bertanya pada hati, “benarkah aku disakiti olehnya? Atau, aku hanya merasa tersakiti saja? :)

ya Allah, jika semua salah ini pernah kutorehkan

adakah yang lebih menakutkan

dari tiadanya maaf mereka yang terluka

dan ampunMu yang terbebat

pada ridha dan kemaafan mereka

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

1 komentar:

Nugroho mengatakan...

nice note eff,
saya pernah baca buku, mm 7 laws of happiness, karya arvan pradiansyah ( bener g ya tulisanya?) ketika kita tersakiti, misal oleh teman ato siapapun, biasanya kita akan berguman" apa salahku?", ato kenapa dia jahat padaku?"....

alangkah indahnya kalo ungkapan diatas diganti dengan, "oo mungkin dia sekarang sedang punya masalah yang besar." ato, "mmm...barangkali dia sekarang lagi kesusahan"

dan hasilnya, kita tidak saakit, karena hati kita telah memaafkan.

memang terkadang sangat sulit (saya juga lagi mencoba disaat masalah besar baru datang)...and the end, everything need procees...slowly but sure,but faster is must...