Ke Dokter?? Siapa Takut

Ada salah seorang teman saya yang takut pergi ke dokter. Kemarin waktu dia sakit, beberapa hari bolos kuliah, namun selalu menolak waktu saya cerewet menyuruhnya untuk berobat. Katanya, “Mending nahan sakit ini, ogah bangett deh ke dokter, takuuttt!”. Yoweslah, mau diapain lagi? Dianterin juga kagak mau dia nya. Kasian kan, badannya mpe kurus kering gitu karena sakit. Aneh-aneh aja pake takut segala. Takut diapain coba?? Suntik? kan bisa minta obat aja. Nggak semua orang, sewaktu sakit mau pergi ke dokter atau rumah sakit. Apalagi para batita, balita atau anak-anak. Dokternya seremm kali yaaa?? Atau perawatnya galak?? Nggak semuanya kok. Mau bagi cerita aja ni, selasa malam kemarin, setelah “dipaksa” periksa untuk kesekian kalinya dan sayapun sangat nuruttt. Capek banget batuk nggak brenti-brenti. Bisa kurus asli ni awak. Hohoho!

Mungkin yang rumahnya sekitar Jajar tau, Dokter spesialis paru-paru di daerah ini. Sampai Jajar, Solo udah jam 7 lebih. Owhhh, antrinya banyak nian (salah siapa datangnya kemalaman :P). Mana ngantuk banget rasanya. Duduk di kursi tunggu, bayang-bayangin; dokternya kayak apa ya. Pasti serem, ihh, jangan jangan nggak prendly kan bete. Atau cuek gtu, Cuma diperiksa trus kasih resep, pulang. Atau ntar diponis sakit macem-macem. Hyaaaa….Astaghfirullah!

“Mbak Efii…silahkan masuk”. Alhamdulillah, namaku dipanggil juga. Sebelum masuk, merengek sama mbak minta ditemenin ke dalem. Ruangannya tidak terlalu besar, hanya ada ranjang putih (yaiyalah, masak ungu, lhoh?) dan mejanya pak dokter. “What can I do for you, mbak efi?” itulah sapaan pertama yang dibarengi tawa dokter. Aku hanya senyum, “Mau periksa dok” (gimana sih). Setelah diperiksa, dokternya bilang “paru-parunya sehat, all is well.” Kayak gitulahhh. Nggak tau udah berapa menit aku diruangan ini. Bener-bener nggak terasa. Ya, baru kali ini aku bertemu dokter seperti beliau. Sangat-sangat ramah, terkesan begitu friendly, banyak senyumnya dan dijamin tidak ada aura menyeramkan. Hehehe. Tiga puluh menitan mendengarkan cerita beliau. Hanya beberapa menit saja menjelaskan sakit saya. Cerita tentang masa kecil sampe kuliah di LA. “Saya sekolah dari kecil hingga ke amrik tu gratis lho mbak.” Wauuu, jenius pisan euy, batinku. Lanjut cerita beliau, “Waktu kuliah di UI, masa demokrasi terpimpin. Kuliah dibiayai oleh pemerintah, bahkan saya mendapat gaji Rp 600 pada masa itu (enak kan, kuliah nggak bayar, malah di bayarin). Namanya juga “terpimpin” ya mbak, peraturannya juga ketat. Seluruh warga Indonesia sebenarnya bisa, asal bisa ikut terseleksi (asal pinter gitu maksudnya). Karena pengajarnya prof-prof dari luar, jadinya harus terbiasa pake bahasa inggris (merasa tersindir:p). S2 dan S3 di universitas California, Los Angeles. Gratis. Dan pulang ke Indonesia, saya itu malah susah berbahasa Indonesia mbak…..blukuthuk…blukhutukk,,ojo koyo kiek* Brebes mode on. Hahaha, beliau tertawa. Mmm…sekarang saya heran, kenapa di Indonesia kita tercnta ini, sekolah kok mahal sekalii?? Kenapa nggak bisa murah?, beliau menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku masih khusuk menyimak cerita beliau, sesekali aku tersenyum dan mengomentari dengan pengetahuanku yang masih terbatas. Niatnya mau periksa, tapi malah dapat tambahan ilmu dari dokternya. Finnally, stelah dikasih resep,”Jangan lupa kalau mau minum obat baca basmallah ya mbak, yang nyembuhin itu Allah, bukan saya,” kata dokter dibarengi sama tawa. “Jangan lupa dua minggu lagi control ya”.

Keluar dari ruangan, pasti pada bete yang ngantri, kok lamaaa banget siih?? Apalagi mbak-ku, manyunnn. Hahaha. Pisss Mbakk…

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments