Sunshine

Sinar mentari dhuha menyapa lembut

Merekah berkah tersipu malu

Langit bersih tanpa mega

Bening embun masih menempel di antara daun

Di sebuah sajadah

Ku temui Engkau dalam sujudku

Ku curahkan harapku, ku akui semua ‘lalaiku’

Di bentang sajadah

Mengadu hingga tersedu

Mengharap penuh akan keridhaan-Mu

Memohon kekuatan yang tak hanya untukku, tapi untuk ‘kami’

Meminta sebuah keyakinan

Keyakinan tulus dan penuh, dari-Mu ya Rabbii…

Besar dan dalamnya cukup Engkau yang tau ya Rabb

Harap dan keluh, cukupkan hanya Engkau tempat

terindah kami, untuk berharap dan mengadu…

Semoga selalu ada dalam rengkuh-Mu….di langit April minggu ketiga

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Yang seharusnya membuat kita terpesona….

Para sahabat adalah figure-figure menarik yang penuh warna, menggambarkan sosok mereka sebagai sosok mereka sebagai manusia biasa, namun ada kemuliaan yang senantiasa terukir dalam kebiasaannya itu.

Ada orang-orang besar dengan gelar besar. Tetapi kebesaran itu bermula dari satu prinsip yang dipegang teguh. Satu saja, kecil saja. Tetap istiqomah. Abu Bakar Ash shiddiq. Benar, membenarkan, dan dibenarkan. Mengapa? Karena teguh untuk yakin pada apa yang berasal dari sisi Allah dan Rasul-Nya. Maka keyakinan itu menjadi sesuatu yang sangat besar, “Andaikan iman seluruh manusia ditimbang pada suatu dacing dan iman Abu Bakar pada dacing yang lain, niscaya iman Abu Bakar lebih besar. “Subhanallah!

‘Umar Al Faruq. Ia sosok yang tak pernah menyembunyikan perasaannya. Jujur pada dirinya, jujur pada Allah, jujur pada manusia. Blak-blakan, keras dan tak pernah mengenal rasa takut. “Bukankah kita berada di atas kebenaran? Maka bermulalah aksi-aksi besar kaum muslimin dari ‘Umar. Da’wah terang-terangan, show of force di Ka’bah, hijrah terang-terangan, dan gemeretaknya gigi orang kafir dan orang munafik. Ia keras, sangat keras. Tetapi ada saat dimana ialah manusia terlembut; saat memimpin. Maka benarlah kata-kata Ibnu Mas’ud, “Islamnya ‘Umar adalah kemenangan, hijrahnya adalah pertolongan, dan kepemimpinannya adalah rahmat bagi orang beriman.”

‘Utsman Dzun Nurain, si pemalu berakhlaq mulia. Malu tak hanya pada manusia, tetapi lebih dari itu, pada Allah. Ia malu, jika nikmat-nikmat Allah tak dinafkahkan di jalan-Nya. Maka ribuan unta menyertai perang Tabuk. Ia malu, jika ia kenyang sementara penduduk Madinah ditimpa paceklik. Maka 1000 unta penuh muatan ia bagikan gratis. Ia malu, jika ia minum air sejuk sementara penduduk Madinah meminum air bacin. Maka dibelinya sumur Raumah, lalu ia wakafkan. “Tidak akan membahayakan ‘Utsman”, sabda sang Nabi, “Apapun yang dia lakukan setelah hari ini.” Dan ‘Utsman semakin merasa malu..

‘Ali yang ceria. Ceria mengajarinya keberanian untuk tidur menggantikan Rasulullah di saat terror pembunuhan mengepung kediaman beliau yang kecil. Ceria mengajarinya berolok-olok pada Amir ibn Abdu Wudd, jagoan Quraisy yang menentang perang tanding dalam peristiwa Khandaq. Dan saat tubuh yang besarnya dua kali lipat dari dirinya itu jatuh terbelah, kaum muslimin pun bertakbir gembira. Ceria –saat sakit mata- membuatnya menjadi pemegang panji penaklukan Khaibar, maka jadilah ia pemegang panji yang mencintai dan dicintai Allah dan Rasul-Nya.

Ada orang-orang besar dengan gelar besar. Ada Khalid, pedang Allah yang senantiasa terhunus. Maka sering, dengan kudanya ia membelah barisan musuh sendirian. Ia pedang Allah, maka 13 pedang patah ditangannya pada perah Mu’tah. Ia pedang Allah, yang memang hanya hafal sedikit ayat. Tetapi seluruh bagian tubuhnya yang penuh luka akan menjadi saksi di hadapan Allah, meski ia mati di ranjang. Ada Thalhah yang perwira, perisai hidup Rasulullah yang di tubuhnya ada 70 sayatan pedang, hunjaman tombak, dan tusukan anak panah. Maka jadilah ia, kata Rasulullah, seorang syahid yang masih berjalan di muka bumi. Abu Dujanah memang congkak, tapi ia bingkai kecongkakanya dalam jihad menghadapi musuh-musuh Allah sehingga ia mulia dengan kecongkakannya. Ikat kepala merah, langkah yang angkuh, jalan yang penuh gaya. Membuat Rasulullah berkomentar, “Allah membenci yang seperti itu kecuali dalam peperangan di jalan-Nya!”. Akhirnya Abu Dujanah meraih kemuliaan yang ia nantikan, sambutan 70 bidadari syurga.

Ada lagi yang agung dalam gelar kematiannya. Hamzah penghulu syuhada’, Ja’far pemilik dua sayap yang terbang kian kemari di surga. Abdullah ibn Rawahah yang ranjangnya terbang menghadp Rabbnya, Sa’ad ibn Mu’adz yang kenaikan ruhnya membuat ‘Arsyi Allah berguncang, dan Hanzhalah yang dimandikan malaikat.

Mereka, manusia-manusia biasa yang istiqomah dengan potensi kebaikan yang dimilikinya. Kecenderungan-kecenderungan memang berbeda. Dan jadilah itu warna-warna. Ada sosok-sosok low profile seperti Ahli Surga yang dimata-matai ‘Abdullah ibn ‘Amr bin ‘Ash. Sedikit yang mengenalnya,bahkan ‘Abdullah tak melihat ia memiliki keistimewaan apapun. Tapi ternyata, ia dibingkai oleh keikhlasan dan kejujuran, “Aku selalu menanggalkan semua perasaaan tak enak dan prasangka terhadap sesama muslim sebelum tidurku…”

Bahkan di antara sepuluh orang yang dijamin ke surga, terdapat Sa’id ibn Zaid, sosok low profile yang namanya nyaris tidak muncul dalam sirah selain dalam kisah keislaman ‘Umar dan kisah sengketa tanahnya dengan seorang wanita tua.

Ada lagi kelucuan lugu di balik sosok orator besar Tsabit ibn Qais. Ketika turun Surah Al Hujurat ayat 2 yang berisi larangan meninggikan dan mengeraskan suara kepada Nabi, ia mengurung dirinya berhari-hari di dalam rumah. Ia pikir ayat itu turun tentang dirinya yang berpembawaan keras melengking tinggi saat berkata-kata. Untung Rasulullah menghiburnya, “Tidak, katakana padanya, dia tidak termasuk dalam ayat ini, bahkan dia dicintai Allah dan Rasul-Nya.”

Ada yang pernah berbuat dosa, tapi ia jujur! Ma’iz mengakui perzinaannya, meminta rajam untuk dirinya, sampai Rasulullah mengatakan, “Jika taubatnya dibagi seluruh penduduk Madinah, niscaya mencukupi bagi mereka.”

Ka’ab ibn Malik, yang kekuatan argumennya tak terkalahkan justru mengaku jujur bahwa ia tak punya alasan ketika tak ikut ke perang Tabuk, lalu ia jalani pengucilan 50 hari tanpa tegur sapa dari semua orang termasuk Rasulullah. Ketika bumi serasa sempit menghimpit, ia kuatkan untuk tidak menerima iming-iming suaka Raja Ghassan. “Inilah musibah yang sebenarnya!”, ujarnya sambil melempar surat tawaran mewah itu ke tungku menyala. Ketika penantian menyesakkan itu membuahkan penerimaan taubat, Rasulullah bersabda padanya,”Bergembiralah dg hari terbaik sejak engkau dilahirkan ibumu!”. Dan hari itu wajah Rasulullah bagi purnama yang dikhususkan bercahaya untuk Ka’ab. Wajah itu sangat ia rindukan setelah 50 hari selalu membuang muka ketika melihatnya. Subhanallah ^^

Islam memuliakan semua posisi. Kalau tak memungkinkan menjadi karang kokoh di dasar lautan, menjadi rumput nan lemah lembut yang tak goyah dipukul rebut pun tetap agung nilainya, insyaAllah.

****

Ngutip SASM :)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments